“Bagas, Lintang, Langit, Laut! Itulah nama anak-anak kita.” ucapmu semangat, dibalut senyum yang mengembang di sudut bibirmu.
“Matahari, Bintang, Langit, Laut? Artistik sekali ya?” jawabku menanggapi pernyataanmu.
“Jelas!” ujarmu singkat, tawamu tetap menyeruak.
Sudah beberapa bulan sejak peristiwa itu, namun ingatanku masih begitu
kuat tentangmu. Masih tersulut tawa renyahmu, masih kuingat caramu
mengungkapkan rasa, dan masih begitu lekat suaramu menggelitik gendang
telingaku. Dulu, aku dan kamu sempat menjadi kita, kita yang saling
menyatukan rasa. Sosokmu yang penuh tanya, memaksaku untuk terus mencari
jawabnya. Inikah yang disebut cinta? Selalu butuh tanya dan jawaban.
Jarak antara Jogjakarta dan Bogor memang masih setia membusungkan dada,
menyombongkan diri atas prestasi yang ia tekuni, memisahkan dua orang
yang saling mencintai, menjauhkan dua insan yang masih saling berbagi
rindu. Jarak memang tak selalu mampu kita tembusi. Sehingga kita
berkencan dengan waktu, dan orang-orang menatapnya penuh tanya. Aku dan
kamu menelan rindu diam-diam. Kita juga tak bisa berbuat apa-apa, ketika
jarak memang mempunyai hak untuk menjauhkan.
Semua mengalir dengan begitu indah, hingga pada sewaktu-waktu kamu
mengatakan hal yang mencengangkan, “Ibuku tidak terlalu menyukai wanita
Jawa.”
“Lalu, bagaimana denganku? Bagaimana dengan kita?” tanyaku cemas.
“Tapi, aku menyukaimu.” Jawabmu singkat, aku tertegun. “Ibu baik kok, yang berhak memilih kan aku.”
Beberapa menit kemudian, kita berseteru. Percakapan yang mengalir lewat
mata berkaca, kali pertama aku mendengar suara tangismu, begitu lembut,
begitu tulus. Aku masih ingat usaha kerasmu untuk menguatkan langkah
kita, agar tak ada yang merasa tersakiti di tengah jalan. Seandainya tak
ada jarak, mungkin kita bisa saling menguatkan. Tapi, apalah daya yang
kaupunya dan kupunya? Kita hanyalah dua manusia angkuh yang nekat
melawan arus perbedaan. Aku dan kamu hanya ditakdirkan untuk berkenalan
bukan untuk menjadi pasangan kekasih Tuhan.
Rindumu dan rinduku tak lagi saling menyapa. Aku dan kamu takkan mungkin
bisa seperti dulu, semua berbeda, semua berubah. Aku dan kamu tak
mungkin lagi menjadi kita, karena di sana mungkin kautelah bersama
pilihanmu, dan di sini bersama pilihanku.
Kutahu kaubegitu mencintai senja dan kilau lembutnya. Kutahu kausempat
memimpikan bisa melihat senja bersama dengaku, bersama dengan anak-anak
kita. Tak sempat kulihat wajah Bagas, Lintang, Langit, dan Laut, karena
perpisahan tergesa-gesa menjalankan tugasnya, untuk membuat aku dan kamu
seakan-akan tak pernah saling mengenal.
Maaf, karena aku tak mampu memberi keindahan dalam hidupmu. Maaf, karena
aku tak bisa menggambarkan senja di bola matamu. Maaf, karena kubiarkan
kamu memasuki hidupku. Harusnya kuakhiri segalanya, ketika kubiarkan
kaumasuki hidupku. Jadi, takkan pernah ada kita dalam dongeng sebelum
tidur ataupun dalam sejarah yang tak dibukukan.
Biarkan saja angin bersenandung sendiri
Biarkan saja wajahmu menggantung dalam sunyi
Biarkan saja tawa renyahmu menghantui hari
Itulah tanda
bahwa aku membiarkan diriku
untuk tetap merindukanmu
Hingga sekarang, masih ada doa yang mengaliri malam-malammu
Masih ada doa yang menghakimi kebahagiaanmu
Masih terucap lirih doaku, untuk menuntunmu pulang
ke sini…
pulanglah…
aku merindukanmu
26 Juli, ponselmu dan ponselku jadi saksi, dua hati menjadi satu,
melebur dalam perbedaan. Kamu pria yang sempat menjadi senja dan
malamku, pria yang menjadi teman begadangku, si mata sipit yang pernah
menjelma menjadi tangis dan tawaku.
*Terinspirasi dari cerpen Seno Gumira Ajidarma
*Terinspirasi dari cerpen Seno Gumira Ajidarma